Bermain dengan Anak Kecil yang Sudah Dewasa

Kontributor : Adhyasta D. Gaspard

Apresiasi untuk cerpen “Mikael” karya miss worm dalam Kemudian.com, 30 Mei 2008

Anak kecil itu lucu, menggemaskan, dan tingkah polanya selalu menimbulkan tawa, kecuali saat ia sedang rewel atau sakit. Begitulah pikiran sebagian besar orang, apalagi yang sudah mempunyai anak. Kebetulan saya punya kemenakan berumur 1 tahun lebih, jadi saya rasa keadaannya sesuai untuk mengulas cerpen yang seperti anak kecil ini (kata siapa?).

Saya suka kalimat pertama cerpen ini, karena tersusun dari sesuatu yang dapat menimbulkan tanda tanya serta keinginan membaca lebih lanjut:

”Kucing milik An sanggup menelan batu sebesar bola bekel dan tidak mati.”

Cerpen ini bercerita seputar kucing milik tokoh utama yang ajaib bernama Mikael, ia memakan batu seukuran bola bekel dan tidak mati, malah memuntahkan intan. Hal ini seakan membuat pemilihan judul tidak ambil-comot saja, tetapi ada pertimbangan di sana—nama malaikat.

Setelah judul dan paragraf pertama yang melukiskan dunia ajaib, penulis menubruk interpretasi pembaca dengan memperlihatkan dunia realitas (ini bukan terjadi di dunia dongeng atau fantasi, tetapi di dunia nyata) lewat dua teman An. Dua kucing milik teman An adalah kucing biasa, yang muntah darah ketika makan bola bekel, dan suka makan keripik ikan.

Di sinilah penulis membaurkan keajaiban dan kenyataan, seperti dunia anak kecil yang masih belum paham yang mana imajinasi dan yang bukan, dan masih dalam dunia anak kecil yang rasa penasaran mereka tinggi. Setelah tahu Mikael tidak mati sesudah memakan batu, mereka menyuruh Mikael memakan benda-benda lain.

Di kisah ini penulis memainkan permainannya dengan cerdik, seakan mencoba menarik rasa penasaran pembaca yang telah ia jerat ke dalam dunia anak kecil: mungkin juga pembaca merasa kembali ke masa kecil mereka dengan rasa penasaran yang tak bisa dibendung. Ketika batu berubah jadi intan, bagaimana dengan karet penghapus?

Jika keluarnya tetap batu intan, rasa penasaran akan terpuaskan. Pembaca tidak lagi merasa penasaran, tetapi bagaimana jika Mikael si Kucing Siluman bertingkah aneh. Di sinilah penulis mempermainkan prediksi pembaca dan semakin membuat rasa penasaran mereka mengebu-ngebu.

Mikael dibuat sedikit menderita, seakan ia akan mati, namun keajaiban kembali terjadi. Penghapus berubah menjadi balon. Rasa penasaran kembali diuji ketika mereka bertiga memberi makan Mikael benda lain, yaitu benang wol.

Pembaca kembali penasaran dan mengira-ngira Mikael akan mengeluarkan apa? Di sini pembaca (setelah melihat kedua benda sebelumnya) punya prediksi yang lebih terarah, dan mereka pun senang ketika prediksi mereka tidak meleset atau hampir tepat (kecuali mungkin yang tidak menebak dengan benar): kapas.

Penulis kemudian mempercepat tempo cerpen, karena tak perlu lagi penjelasan (yang akan sia-sia) seperti sebelumnya, dan berpotensi untuk membosankan pembaca.

Mikael memakan buku notes dan berubah menjadi kayu berbentuk balok, dan dengan gaya cerita yang masih sama (seperti anak kecil yang lucu dan polos) penulis memberikan sebuah kejutan di akhir. Kejutan yang sangat pintar karena tidak begitu saja ada, tetapi tetap berhubungan erat dengan hal-hal sebelumnya.

Jika Mikael menelan batu dan memuntahkan intan, karet penghapus menjadi balon, benang wol menjadi kapas, dan buku notes menjadi kayu berbentuk balok, bagaimana dengan bakso depan sekolah?

Dengan keempat benda di awal, pembaca diarahkan untuk memprediksi benda berikutnya yang dimakan Mikael akan berubah ke asalnya (bahan utama mereka dibuat). Dan benda terakhir tersebut seperti pukulan terakhir penulis pada pembaca—terutama orangtua yang tak memperhatikan makanan yang dikonsumsi anak mereka—sebelum menamatkan cerita.

Cerpen ini mengingatkan saya pada cerpen “The Man in the Well”(Laki-laki di dalam Sumur, baca di sini) karya Ira Sher yang juga bercerita tentang kehidupan anak-anak, meski rentan usianya berbeda. Kedua cerpen ini sama menurut saya dalam menggambarkan dunia anak-anak, yang suka bermain dan tidak memiliki pertimbangan seperti orang dewasa. Seperti An, ketika ia tahu kucingnya menelan batu seukuran bola bekel dan memuntahkan intan, ia kaget dan senang karena memiliki kucing siluman, lalu memberitahu teman-temannya. Pikiran khas anak kecil.

Coba kita bayangkan bagaimana kalau itu orang dewasa? Mereka akan terus memaksa kucing itu menelan batu, dan merahasiakan keajaiban itu. Sebagian besar orang akan melakukan hal tersebut. Berbeda sekali, bukan?

Hal yang sama juga diceritakan oleh Ira Sher dalam cerpennya, di mana beberapa anak menemukan seseorang terperangkap di bawah sumur, tetapi mereka tidak segera menolong atau mencari bantuan.

Ada pula hal yang menarik dari cerpen Windry Ramadhina (kunjungi profil Goodreads beliau di sini-red) dengan pseudonim miss worm di situs Kemudian.com ini, yaitu gaya penceritaan repetitif yang ciamik seperti seringnya kata “dan tidak mati” muncul, dan beberapa yang lain berbentuk dialog.

“Seperti nama malaikat?”
“Seperti nama malaikat.”

Penokohan di sini juga terasa sekali seperti layaknya anak kecil, lugu dan lucu. Dan penulis lihai dalam membedakan kedua teman yang tidak ia kasih nama, tetapi persona. Teman yang satu adalah seorang teman, satunya lagi beliau memberikan ciri khas sendiri: yang selalu memanggil Mikael dengan Cipus.

Cerpen ini seakan memberikan teguran halus dengan gaya anak-anak bahwa mereka berada di dunia yang berbeda. Apa yang baik menurut orangtua belum tentu baik untuk anak. Atau apa yang baik untuk anak belum tentu dipahami sepenuhnya oleh orangtua. Lalu apa yang seharusnya dilakukan oleh orangtua?

Adhyasta D. Gaspard
Pemuda yang bisa dihubungi lewat e-mail: Adhyasta44@gmail.com
dan pemalas yang sedang berjuang di medan Pertal Kata.

Tinggalkan komentar