Tenggelam dalam Satu Pelukan di Pagi Hari

Kontributor: Cita Pratiwi
[Apresiasi untuk cerpen ‘Satu Pelukan Asagao‘ karya duniamimpigie]

Salah satu cerita pendek kesukaan saya di situs kemudian.com. Bukan hanya karena saya menyukai hal-hal yang berbau Jepang, melainkan juga karena cerita ini sangat keren.

Pertama kali membacanya, tak ada yang dapat saya lakukan selain terhanyut. Penceritaannya mengalir, membuat yang membaca terbawa ke dalamnya. Tengok saja cuplikan di bagian awal:

Kendati demikian, tangisan nan menderai ini, tak kunjung reda. Bahkan setelah aku menginjak usia duapuluh, enam tahun lebih sejak terpisahkan darimu. Saat jiwaku lenyap tak bersisa.

Ternyata aku memang merindu.

Ternyata aku memang mencintaimu.

Ini bukan kisah percintaan biasa. Lebih ke rasa kagum akan sosok guru, Sen no Rikyu, yang sekaligus juga mengadopsi Asa. Beliau menamakan sang tokoh utama “Asa”, yang berarti “pagi”. Nama “Asa” berhubungan dengan nama bunga di cerita pendek ini, “asagao” atau “morning glory”. Asa begitu mengagumi sensei-nya (gurunya) ini. Sampai-sampai, ia menganggapnya sebagai dewa.

Ah, Sen no Rikyu. Sensei. Penyelamat jiwaku, keluargaku, panutanku, guruku.

Dewaku.

Yang kujunjung tinggi melebihi – bahkan – dewa-dewi itu sendiri, kaisar itu sendiri, yang tak pernah kutemui maupun kukenal.

Setelah membaca cerita pendek ini berkali-kali, saya melihat sesuatu yang membuat penceritaannya begitu mengalir: kalimat-kalimatnya. Gie, si penulis, menyusun ceritanya sedemikian rupa sehingga panjang-pendeknya menyampur dengan pas. Bahkan ada beberapa paragraf yang hanya satu kalimat. Dengan begitu, Gie mampu menampilkan kesan “jeda” yang sesuai. Simak contohnya berikut:

Pagi itu, kala Kyoto akhirnya memperoleh masa-masa damainya yang singkat. Pagi itu, kala pinggiran ibukota disapu angin musim semi nan hangat, teriring cericip uguisu menggelitik telinga.

Tenang.

Damai.

Hidup.

Jika kesan “menyenangkan” timbul dari cuplikan di atas, lain lagi dengan cuplikan di bawah ini:

Dari pelukan, gugur satu persatu.

Tercecer.

Terlupakan.

Tersia-siakan.

Hingga lenyap.

Rasanya sakit, dramatis, tapi tidak berlebihan.

Juga kebiasaan Gie yang “memenggal” kalimat menjadi paragraf terpisah. Sang Penulis seperti ingin menonjolkan kalimat tersebut. Lagi-lagi, ia berhasil.

Kami lekas mengunjungi guru kami, tampak Nyonya merangkulnya di sampingnya, menghiburnya. Entah mengapa membuat hatiku mencelos seolah mendadak ditenggelamkan begitu dalam hingga gelap dan kalap. Membuatku enggan melangkah mendekat.

Dan pergi.

Sambil menangis sendiri, di tengah rerimbunan asagao yang tanpa asagao, hanya sekuntum tersemat di rambut kusutku.

Hampir seminggu terlewati percuma. Percuma, sebab aku sama sekali menolak untuk berbicara bahkan bertatapan dengan dewaku. Meski ia memanggilku, mengejarku, mengomeliku.

Menyayangiku.

Selain susunan kalimat-kalimat yang tidak monoton, kelebihan cerita ini adalah latar. Penggambaran Jepang pada masa itu diselipkan di sepanjang cerita. Sangat menyatu. Jadi, tidak terasa seperti “tempelan”. Mulai dari suasana sekitar sampai ke budayanya. Menurut Gie, cerita ini berdasarkan kisah nyata. Hanya tokoh utama, Asa, yang fiksi. Selain itu, Sen no Rikyu, alasan seppuku, dan asagao itu benar-benar ada.

Perasaan saya terbolak-balik saat membaca cerpen ini. Awalnya sudah terbawa sedih, lalu merasa damai menatap asagao, kemudian heran dengan tindakan Sen no Rikyu, dan puncaknya teriris-iris saat seppuku dilakukan. Apalagi Gie menulis dengan sangat ciamik. Sempat-sempatnya menyelipkan adegan kilas balik yang makin menyayat hati.

Darah memercik.

“Keluargamu meninggal karena perang? Bagaimana kalau kau ikut denganku dan istriku?”

“Hentikan Sensei! KUMOHON!”

“Kau gemar minum teh? Aku suka. Bagaimana kalau mulai kini kuajari kau tata cara minum teh?”

SENSEEEEI!!!”

Mengoyak perut, kanan lalu kiri.

“Kau tahu, aku menamaimu ‘Asa’ karena kau bilang kau menyukai pagi hari. Nama baru, kehidupan baru, bukan begitu?”

“Kumohonkumohonkumohonkumohon!”

Belati terjatuh, akhirnya.

“Sekaligus mengingatkanku akan asagao, bunga kegemaranku, berwarna lembut merah muda, nila, biru langit, cantik.”

Cita Pratiwi
CITAPRATIWIKA@GMAIL.COM

4 respons untuk ‘Tenggelam dalam Satu Pelukan di Pagi Hari

  1. Sen no Rikyu memang sosok seorang Sensei yang sangat dipuja dan dielukan pada masanya, bahkan sampai saat ini namanya masih melegenda. Salut dengan cerpen di atas yang dapat menggambarkan bentuk cinta yang hakiki dan tulus dari seorang murid kepada gurunya 🙂

    Suka

Tinggalkan komentar