Apa yang Membuat Kita Pensiun Dini?

Kontributor : Muh. Iznaen Tanggapili

Apresiasi untuk cerpen “Sepucuk Surat” karya Pamusuk Eneste dalam Kompas, 28 Desember 2003

Sering sekali sebuah cerpen yang simpel dapat dinterpretasikan lebih luas. Selain diksi yang digunakan sederhana, alur ceritanya juga tidak rumit. Dengan narasi yang dapat dimengerti tanpa harus berpikir keras, para pembaca dapat dengan mudah menikmati ceritanya. Akan tetapi di balik itu semua, terdapat pesan moral yang cukup mendalam dan beragam bagi masing-masing pembaca yang benar-benar menelaah cerpen simpel.

“Sepucuk Surat” adalah salah satu cerpen sederhana dengan alur yang tidak rumit. Walaupun begitu, cerpen ini tetap memiliki “bobot” dan pesan moral yang bisa kita petik. Di awal cerita, pembaca langsung disuguhkan dengan berita kematian yang datang lewat perantara kurir pada pagi hari.

Ketika Pakemon sedang membaca koran pagi di teras depan rumahnya, sambil menikmati secangkir kopi arabika, seorang kurir dari kantor tempatnya bekerja tempo hari datang. Kurir itu mengabarkan, Pak Presdir baru saja meninggal dunia.

“Saya mengantar ini, Pak,” kata kurir itu seraya mengajukan surat ke tangan Pakemon.

“Dari siapa?” tanya Pakemon.

“Tidak tahu Pak. Saya cuma disuruh antar.”

Pakemon mengira, itulah sepucuk surat yang ditunggu-tunggunya dua puluh tahun. Ternyata surat itu dari Pak Almarhum Presdir .

Pakemon adalah seseorang yang menduduki jabatan sebagai direktur keuangan perusahaan MNC pada usianya yang ketigapuluh tahun. Ia adalah orang yang tekun, hemat, dan disiplin, sehingga pimpinan perusahaan MNC salut dengan etos kerjanya. Saking bagusnya performa kerja Pakemon, ia sampai terpilih sebagai karyawan teladan bertahun-tahun, dan hal ini membuat karyawan lain yang bekerja di perusahaan MNC protes.

“Pemilihan karyawan teladan tak perlu diteruskan, Pak,” kata mereka.

“Kenapa?” tanya Presdir.

“Lha, kalau caranya begitu, yang terpilih dari tahun ke tahun cuma Pakemon melulu, Pak,” kata yang satu.

“Kalau begitu, Pakemon saja yang kerja, Pak,” kata yang lain.

“Kita-kita ini berhenti saja semua, Pak,” kata yang lain lagi.

Sejak itu, pemilihan karyawan teladan pun ditiadakan.

Tentu saja dengan tingkat kedisiplinan yang tinggi, Pakemon tidak perlu menunggu lama agar hidupnya sejahtera. Pada usianya yang keempatpuluh, Pakemon sudah memiliki apa yang kebanyakan orang idam-idamkan.

Kalau bertemu dengan Pakemon, pastilah kau akan iri secara diam-diam atau terang-terangan. Bukan karena istrinya bekas peragawati. Bukan pula karena Pakemon mampu menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah unggulan (bayarannya dengan dollar Amerika). Bukan pula karena ia memiliki rumah bagus (Lt 1000m²/Lb 500 m²) di kompleks perumahan paling bergengsi. Bukan pula karena ia memiliki vila di daerah pegunungan (yang dikunjunginya setiap akhir pekan dan hari libur lainnya). Juga bukan karena Pakemon memiliki mobil-mobil made in Germany (BMW paling gres untuk dirinya sendiri; Mercy seri terbaru untuk kegiatan istrinya; Opel Blazer untuk antar jemput kedua anaknya).

Bukan itu.

Pakemon mencapai semua itu pada usia 40 tahun!

Pada tahap ini, Pakemon merasa sudah berada di puncak karirnya. Sehingga ia merasa sudah saatnya untuk pensiun. Namun pimpinan perusahaan menganggap Pakemon terlalu cepat mengambil keputusan, sehingga ia melakukan berbagai cara untuk menangguhkan pensiun dini Pakemon.

Kalau Pakemon bertanya pada Bagian PSDM kantornya, selalu terdengar jawaban standar, “Sedang diproses, Pak.”

“Jadi, kapan es-ka pensiun dini saya keluar?” kata Pakemon dengan nada tinggi.

“Saya tidak tahu, Pak. Pokoknya, saya sudah serahkan ke sekretaris Pak Presdir. Silakan tanya sekretaris Presdir, Pak.”

Ketika Pakemon bertanya pada Weni, sekretaris Presdir, muncul jawaban,

“Es-ka-nya sudah saya masukkan Pak ke map ’Surat-Surat yang

Harus Ditandatangani Presdir’, Pak.”

“Lantas?”

“Saya ’nunggu ditandatangani Bapak Presdir. Setelah itu, baru saya kirim ke Bapak.”

Pakemon sudah hafal jawaban itu semua.

“Sedang diproses, Pak.”

“Sudah diserahkan ke Pak Presdir, Pak.”

“Pak Presdir belum menandatanganinya, Pak.”

“Pak Presdir masih sibuk.”

“Pak Presdir sedang rapat.”

“Pak Presdir sedang ke luar kota.”

“Pak Presdir sedang cuti.”

“Pak Presdir sedang liburan ke Eropa.”

Pakemon selalu mendapat jawaban yang sama dari kantornya selama dua puluh tahun. Ia tidak diberi gaji. Tidak diberi pesangon. Perusahaan hanya menganggap Pakemon non-aktif. Sampai pada suatu pagi setelah penantian yang panjang, akhirnya Pakemon mendapatkan jawabannya. Sepucuk surat dari Presdir perusahaan MNC yang disertai dengan berita kematian beliau.

Sebetulnya, saya sangat senang dengan reputasi Anda di perusahaan.

Sayangnya, Anda terlalu cepat berpuas diri. Buktinya, Anda meminta pensiun pada usia 40 tahun, justru saat usia Anda sedang produktif.

Coba Anda bayangkan. Kalau Anda saya perkenankan pensiun dini, tentu saja banyak orang kelak yang akan meminta pensiun dini. Itu preseden buruk, Saudara! Apa jadinya perusahaan yang saya bangun ini dengan susah payah?

Kini usia Anda sudah 60 tahun. Saatnya untuk pensiun. Ya, pensiun normal.

Pensiunlah dengan tenang. SK-nya sudah saya tanda tangani. Silakan ambil di PSDM.

Di bawahnya masih ada kata-kata berikut.

Jangan dendam pada saya. Itu tak baik.

Dua baris terakhir berbunyi:

Anda telah menunggu 20 tahun.

Maaf.

Setelah tanda tangan Pak Presdir, masih ada NB yang berbunyi:

Saya ingin menyampaikan satu hal pada Anda. Sebenarnya, saya menjagokan Saudara sebagai kandidat pengganti saya kelak. Sayangnya, Saudara bersikukuh minta pensiun dini.

Hal ini membuat Pakemon sakit hati. Ia merasa diperlakukan tidak adil. Sejak membaca surat itu, Pakemon jadi sangsi apakah akan pergi melayat ke rumah duka atau tidak.

Secara implisit, cerpen ini banyak bercerita kepada kita tentang sifat egois manusia. Jika dilihat dari sudut pandang Presdir perusahaan MNC, kita bisa mengetahui bahwa sang Presdir tidak memberikan kemudahan terhadap permintaan pensiun dini Pakemon karena memang sulit bagi manusia untuk melepaskan sesuatu yang berharga atau menguntungkan baginya. Walau keputusan yang diambil oleh Presdir memang masuk akal dan untuk kebaikan perusahaannya, hal ini tetap saja akan membuat Pakemon sakit hati dengan membuat Pakemon menunggu hingga dua puluh tahun. Namun, sang Presdir tidak peduli karena pada dasarnya manusia itu memang egois.

Sekarang kita lihat dari sudut pandang Pakemon itu sendiri. Pada saat mendaftarkan diri untuk bekerja di perusahaan MNC, Pakemon tidak memiliki ambisi yang besar untuk menjadi direktur atau mendapatkan jabatan penting dalam perusahaan, yang penting buat Pakemon adalah bisa mendapatkan uang untuk makan-minum sehari-hari. Setelah kehidupannya mulai membaik dan bahkan sampai pada tahap sejahtera, Pakemon memutuskan untuk pensiun dari perusahaan itu. Pakemon tidak terlalu memikirkan apa-apa yang telah diberikan perusahaan MNC kepadanya dan bagaimana perusahaan itu telah mengubah kehidupan Pakemon dari serba terbatas hingga serba ada. Pakemon ingin cepat-cepat menikmati kehidupannya yang kini sudah “nyaman” tanpa harus lagi bekerja kepada siapa pun. Dari sini kita bisa melihat bagaimana keegoisan Pakemon yang ingin segera melepaskan dirinya dari beban pekerjaan yang ia miliki setelah merasa dirinya sudah mencapai apa yang selama ini ia damba-dambakan. Sama seperti kebanyakan manusia yang ingin segera pergi setelah mendapatkan apa yang ia inginkan.

Pamusuk Eneste berhasil mengemas pesan moral ini dalam bentuk cerita yang simpel dan enak diikuti. Salah satu kebiasaan Pamusuk Eneste—setelah membaca tiga cerpen beliau sebelumnya—adalah memotong ceritanya tanpa penyelesaian konflik yang jelas, dan membiarkan pembaca yang menyelesaikannya. Memberikan pembacanya kebebasan untuk menginterpretasikan ceritanya.

Seperti yang saya bilang di awal, cerpen ini bisa saja memberi kesan yang berbeda-beda bagi tiap pembaca. Keegoisan manusia, adalah salah satu yang diceritakan dalam cerpen ini. Di mana kita hampir selalu menemukan sifat egois ini dalam kehidupan sehari-hari. “Sepucuk Surat” adalah sebuah cerpen yang sederhana untuk pesan moral yang “berbobot”.

Muh. Iznaen Tanggapili

rekayasaksara.wordpress.com

9 respons untuk ‘Apa yang Membuat Kita Pensiun Dini?

  1. Menarik. Konklusi yang kamu tulis di akhir artikel bikin saya mikir bukan cuman tentang “egoisme” Pakemon mengenai keinginannya pensiun dini tapi juga soal ambisi karir. Untuk orang-orang yang tidak atau kurang ambisius dalam bekerja, mereka akan jauh lebih gampang berpuas hati dengan apa yang sudah dicapai. Walaupun sebenarnya Pakemon sendiri bisa jauh lebih sukses dari yang tergambar di cerpen, tapi toh dia menolak untuk mengejar karir ke tingkat yang lebih tinggi. Istilahnya, dia puas hanya menjadi mediocre, dan itu bukan satu hal yang negatif (pun positif) dalam hemat saya. Salam 🙂

    Suka

    1. Bila kontributor yang mereview cerpen ini melihat komentarmu, dia pasti akan sangat senang. Semoga kontributornya makin semangat. Ayo kita semarakkan apresiasi di Indonesia *bawa spanduk*teriak beroriasi sendiri(?)*

      Salam Apresiasi 🙂

      Suka

  2. Saya setuju dengan pendapat Anda yang mengatakan bahwa bukan hanya keegoisan yang bisa kita ambil contoh dari cerpen Sepucuk Surat, melainkan ada juga penyampaian tentang “Ambisi Karir”. Sebab mengapa Pakemon ingin pensiun dini, karena ia memiliki ambisi karir yang tidak besar. Setelah membaca cerpen ini, kita pasti tahu bahwa salah satu alasan mengapa pakemon tidam memiliki ambisi karir yang tinggi, adalah karena pada saat akan bergabung di perusahaan MNC, ia tidak memiliki motivasi lain kecuali “sekedar untuk makan-minum”.

    Suka

  3. Menurut saya, cerpen ini lelucon.
    Lelucon tentang potret realita keburukan sifat manusia.
    Setuju dengan ulasan Anda, bahwa cerpen ini menggambarkan keegoisan manusia. Namun, cerpen ini menyampaikan dua sisi berlawanan dan bertolak belakang: keegoisan (milik Presdir) dan kerendahan hati (milik Pakemon). Ironisnya, di sini sisi ‘egois’ lah yang menang dan berkuasa, seperti yang lazim kita temukan pada kehidupan sehari-hari.
    Salam.

    Suka

    1. Salam juga, kak. Sedih memang melihat realitas sosial yang sedang terjadi di negeri kita ini. Dalam kasus ini, sastra hadir sebagai cermin yang mempertontonkan keburukan masyarakat kita sendiri. Ironisnya, kita juga ikut tertawa melihatnya 😦
      Terima kasih sudah meninggalkan jejak.
      Salam Apresiana 🙂

      Suka

  4. sepertinya Anda sangat ahli dalam mengulas cerpen berisikan moral, ya?

    saya setuju dengan pendapat Anda, bahwa keegoisan terlihat jelas di sini, dan membuat saya teringat dengan perkataan seseorang tentang kemelekatan.

    Pakemon (yang selalu saya salah eja menjadi Pokemon) tidak terlalu peduli pada karir, tidak melekat pada tujuan besar, tapi ia bisa merangkak naik dengan lancar. Sementara orang yang punya ambisi, malah tidak bisa naik ke atas.

    Ibarat kata, kau genggam kuat, hilang, kau lepas, datang… #oleng

    Suka

  5. yaahh mengingatkan kita bahwa penyesalan itu datang belakangan. Humornya terasa walau aku gk yakin bila pembaca laen akan menangkap pesan moral bila lucunya aja yg diingat. Tapi angkat aja cerpen ini…angkaaattt

    Suka

Tinggalkan komentar