Mata Lilin

Kontributor: AN
[Apresiasi CERPEN NUKILA AMAL; “SYAM, BUKAN MATAHARI” terbit di Koran Tempo 29 Januari 2012]

Ketika kita membicarakan tentang cahaya, secara tidak langsung kita sedang membicarakan tentang kegelapan. Dalam berbagai cerita fiksi, keduanya kerap disandingkan sebagai dua musuh bebuyutan yang selalu bersitegang. Cahaya diibaratkan sebagai perlambang kebenaran sementara gelap dinobatkan sebagai wakil dari kejahatan.

Saya selalu senang memikirkan untuk kemudian menjawab segala sesuatu lewat mata saya sendiri. Lewat berbagai hal yang saya rasakan dan ketahui, sebelum kemudian beranjak pada kesimpulan valid berasas teori, pakem, aturan, atau hukum. Maka ketika merujuk pada topik seperti “gelap dan terang sebagai analogi dari kebaikan dan kejahatan,” lantas pikiran saya tertuju pada satu pertanyaan besar: mengapa keduanya diasumsikan sedemikian rupa?

Kembali pada beberapa ratus tahun ke belakang, merujuk pada teori evolusi darwin, manusia membangun pondasi yang kokoh untuk dapat merangkak menuju puncak rantai makanan dengan penemuan api. Api memberi keamanan, kehangatan, dan yang paling penting cahaya yang mampu membuat manusia tidak lagi diikat waktu untuk melihat ruang.

Malam hari menyimpan bahaya tersembuyi yang akhirnya dapat ditangkal dengan cahaya.

Dengan api.

Hingga kini, api masih menjadi sahabat dekat kita dalam berbagai situasi.

Saya membayangkan rumah saya, sebuah bangunan tidak istimewa yang diapit dua rumah lainnya yang berukuran jauh lebih besar. Lingkungan yang masih sering terjadi pemadaman listrik. Baik itu karena alasan teknis ataupun sebab bilamana kami menjadi korban kebijakan. Dalam keadaan tersebut, lilin menjadi senjata kami dalam melawan gelap. Menjadi penangkal ketakutan saya terhadap apapun yang bersembunyi di balik bayangan.

“SYAM” yang berarti lilin dalam bahasa arab, adalah nama tokoh utama yang dipilih oleh Nukila Amal dalam cerpen ini. Seorang idealis, seorang ironis, manipulator cerdas, yang selalu mampu membuat siapapun menyesal pernah berjumpa dengannya. Seorang manusia dengan kejujuran berbahaya yang mampu membunuh kemampuan seseorang untuk bahkan berani berkaca.

Seorang konformis lihai yang mampu membuat siapapun mengeluarkan sisi terburuk dirinya untuk kemudian menjadi monster yang mencabik pemiliknya, sepotong demi sepotong.

Sekilas karakter syam terdengar seperti seorang bajingan tengik bermulut busuk. Karakter yang mungkin akan sulit diterima oleh norma ketimuran dimana basa-basi adalah senjata yang wajib dimiliki.

SYAM, tak seperti namanya, bukan seorang matahari. Ia antitesis cahaya dan segala yang terang. Semisal lukisan, ia bukan figur di tengah yang terang-benderang berdiri gagah berkacak pinggang, namun siluet gelap berjubah hitam yang bersandar di sudut. Siluet yang mengamati segala di sekitar, di dalam dan di luar lukisan”

Tidak seperti tokoh utama yang memiliki sifat cahaya, Syam, menjadi perlambang bagi keduanya. Bagi cahaya sekaligus gelap. Menjadi wakil dari pertarungan tanpa akhir. Menjadi media bagi dua kekuatan yang menguasai hati manusia. Eksistensi Syam mengingatkan akan pemikiran saya terhadap manusia itu sendiri.

Syam menjelma predator di tengah ekosistem yang dibangun manusia. Menjadi pemangsa super yang hanya memangsa predator super lainnya.

Ekosistem yang semula dibangun manusia untuk menyelamatkan diri mereka dari kebrutalan rantai makanan, justru menjadi tombak yang menghujam diri mereka sendiri. Memaksa manusia menjadi predator bagi manusia lainnya. Menjadi serigala.

Seperti evolusi, Syam tidak lantas secara instant lahir sebagai antagonis. Ada proses di baliknya yang menurut saya pribadi dijabarkan Nukila Amal dengan sangat menarik.

SYAM dulu tak seperti ini. Syam 1.0 seambisius pemuda-pemuda lain seumurnya, menatap penuh harap masa depan yang masih panjang terbentang, menerakan mimpi-mimpi sepanjang jalan. Syam dulu bersinar-sinar seperti nama Arabnya. Ia arsitek, penganut dan penganjur penggunaan bahan-bahan setempat dalam bangunan yang dirancangnya. Ia tak peduli dengan konsep arsitektur modern yang diterapkan rekan-rekan arsitek—mereka yang tentu kariernya lebih laju—dan kerap menolak proyek properti kepingin modern yang tak menerima konsep “muatan lokal” yang diajukannya. Begitu banyak prospek yang dilewatkannya begitu saja. Ia lebih mirip tukang ketimbang arsitek, mengerjakan sendiri detail bangunan sembari menebarkan ilmu pada mandor hingga kuli bangunan tamatan SMP . Jika sedang tidak menggambar di kertas kalkir besar, ia mencorat-coret sketsa di buku gambar besar. Ia juga suka mencorat-coret buku kecil, atau mengetik di laptop. Sesekali ia menulis sejumlah esai kritis yang panjang, tak hanya tentang arsitektur namun melebar ke hal-hal lain. Sesekali ia pacaran, datang ke pesta-pesta, naik-turun gunung, ke kelab jazz—cara-cara melupa yang dapat dimengerti manusia.

Di akhir 2005, tiba-tiba segala berubah. Sesuatu telah mengubah Syam luar-dalam. Sesuatu yang biasa terpandang mata, namun mampu membelokkan dan menekuk takdir seseorang dengan teramat fatal. Sesuatu yang akan sangat dikenali seseorang, takkan pernah tampak sama di matanya, menjelma doa dan mimpi buruk, membayang pada benda yang disentuh dan wajah yang ditatap, melekat di langkah kaki sepanjang jalan. Adalah air yang telah meredupkan matahari dalam diri Syam. Matahari yang dulu tak garang kini tinggal temaram.

Air telah mengingkarinya. Mengingkari umat manusia dan kepastian matematika hitungan mereka. 1 + 1 = 2 tak berlaku bagi air. Setitik tambah setitik tetaplah setitik air. Titik-titik air yang bergabung-gabung memperbanyak diri. Merambah pergi dari Sumatra ke Jawa dan entah ke terus ke mana, menyusuri pelan-pelan jarak, menjelma jadi segala warna dan rupa. Selalu akan dikenalinya. Air yang cuma singgah. Sementara. Seperti dirinya.

Air telah singgah menerjang kampung halamannya, menjelma jadi luapan bah dengan mahadaya penghancur apa pun dan siapa pun. Dan Syam tak ada di sana, berada jauh dari segala mala, dari keluarga. Mereka yang mesti mengalah dalam kuasa air, tertelan di dalam murkanya yang buta. Syam tiba di sana pada hari kedua, ketika mayat-mayat masih segar berlumur lempung berserakan di jalanan. Telah beberapa tahun lalu, namun masih seperti kemarin dirasakannya, masih keluar dalam mimpi buruk berulang yang terus menghantui malam-malamnya.

Air bah telah mengubah Syam jadi pertapa, ia tiba-tiba seakan bertambah tua. Uban tiba-tiba memenuhi kepalanya, wajahnya dibiarkan berjanggut. Ia mengalihkan cicilan apartemennya pada seorang rekan arsitek lajang yang masih ingin bermimpi dan ia pindah ke rumah pamannya, menempati paviliun teduh yang telah lama kosong. Di suatu malam paman tertuanya telah meminta, “Syam, tinggallah di sini….” Bibinya telah lebih dulu berlinang. Ini terjadi setelah Syam sempat lama menghilang dari Jakarta. Ia pulang kampung mengerjakan proyek pembangunan rumah-rumah yang hancur bersama beberapa teman arsiteknya. Ia juga membangun kembali mesjid dan SD bersama para penyintas di kampungnya. Ini kerja konstruksinya yang terakhir kali, ia lalu berhenti sama sekali.”

Begitulah, manusia sebagai mahkluk superior tidak lantas berada di atas segalanya.

Seperti perjalanan kera dari mahkluk semi arboreal (atau bahkan mungkin arboreal) menjadi raksasa yang mampu berdiri di atas kedua kaki, Syam mengalami proses evolusi yang merubahnya. Proses penghancuran, peleburan, dan mungkin pembentukan kembali.

Hantaman psikologis yang dialami manusia dapat merubah seseorang menjadi iblis atau malaikat. Menjadi gelap atau cahaya. Segala hal di luar diri manusia tersebut dapat berupa percikan cahaya kecil atau bahkan ledakan besar. Segalanya mempengaruhi diri manusia dan perkembangannya.

Lebih tepatnya perkembangan diri kita. Baik itu secara sadar atau tidak.

Dan bagi saya pribadi, Nukila Amal seolah sedang memberikan petunjuk singkat tentang siapa saya sebenarnya. Bukan, bukan mahkluk super tunggal yang menguasai alam semesta. Bukan cahaya ataupun gelap.

Saya dan manusia pada umumnya adalah sebuah proses. Sebuah progress dari berbagai titik kejadian yang -entah jauh atau dekat- saling berhubungan.

Seperti lilin, seperti Syam, manusia tetaplah manusia. Pada akhirnya, dengan berbagai cara, kita selalu takluk pada kekuatan alam. Saya (atau silahkan sebut kita, jika anda setuju), tak lebih dari sekadar nyala lilin. Remang yang selalu tertiup angin. Selalu rapuh.

Hanya masalah: apakah lilin ini cukup kuat untuk bertahan atau menyerah dan hilang?

Jakarta, 23 Agustus 2015

3 respons untuk ‘Mata Lilin

Tinggalkan Balasan ke Apresiasi Cerpen Indonesia Batalkan balasan