Magnet dan Bunuh Diri

Cover Aksara Amananunna

Kontributor : Nycto
Apresiasi untuk CERPEN “UNDANG-UNDANG ANTIBUNUHDIRI” KARYA RIO JOHAN dalam buku kumpulan cerpen Aksara Amananunna (Kepustakaan populer gramedia, 2014)

Hal pertama yang saya baca ketika membaca sebuah cerpen (juga novel) : judul. Saya pasti akan langsung membaca cerpen yang judulnya menyentil rasa ingin tahu saya. Judul yang aneh—jujur saja—lebih mudah untuk menarik para pembaca. Yap, beri judul yang menarik, pasti mudah menarik pembaca macam saya. Salah satunya adalah cerpen milik Rio Johan, Undang-undang Antibunuhdiri.

Terdengar … konyol. Bayangkan, untuk apa undang-undang yang melarang adanya tindakan bunuh diri? Apa pula dasar hukumnya? Undang-undang yang sia-sia, jika kalian tanya pada saya.

Cerpen ini merupakan cerpen pembuka dari kumcer Rio Johan, Aksara Amananunna. Sebelumnya, saya sudah pernah membaca cerpen Aksara Amananunna; saya punya ekspektasi lebih pada kumcernya. Dan belum apa-apa, saya sudah disuguhkan dengan cerpen berjudul ini. Seperti saya bilang, judul yang menarik memiliki efek magnet bagi pembaca.

Lanjut pada cerita cerpen itu sendiri, mengenai sebuah negara di mana hampir 1% penduduknya (sekitar 440.000 jiwa) melakukan aksi bunuh diri. Angka yang cukup fantastis. Perdana Menteri negara tersebut segera mengambil tindakan dan terbitlah Undang-undang Antibunuhdiri. Di mana pelaku bunuh diri, bila gagal, akan dijebloskan ke dalam penjara khusus seumur hidup yang sekaligus merangkap sebagai pusat rehabilitasi. Dan bilamana berhasil, kerabat terdekatnya yang akan dihukum, menjalani tes bahkan juga dimasukkan ke pusat rehabilitasi—apabila memiliki potensi untuk melakukan aksi bunuh diri.

Saya tidak henti-hentinya menyunggingkan senyum sepanjang membaca cerpen—merasa geli, aneh sekaligus tertarik. Ada berbagai tes rutin yang dijalani warga negeri tersebut untuk mendeteksi ada-tidaknya potensi bunuh diri. Kemudian aksi bunuh diri yang dilakukan massal (seperti lompat dari gedung apartemen beramai-ramai) ataupun individu (seperti menabrakkan diri ke kereta).  Bukannya angka bunuh diri itu menurun setelah adanya UU Antibunuhdiri, malah angka tersebut meningkat tajam di penghujung tahun. Hampir 10% penduduk negeri tersebut (berarti ada sekitar 4 juta jiwa!) yang melakukan aksi bunuh diri.

Cerpen ini ditutup dengan sedikit ironi. Kegagalan undang-undang ini untuk menurunkan angka bunuh diri membuat Perdana Menteri semakin frustasi. Terlebih putrinya sudah melakukan aksi bunuh diri pula. Pada akhirnya, Perdana Menteri tersebut juga memikirkan untuk mati dan terbebas dari segala perihal mengenai urusan bunuh diri ini.

Begitulah isi cerpen unik ini.

Namun, ada hal yang paling menarik dari cerpen ini, yaitu alasan para penduduk di negara tersebut melakukan aksi bunuh diri—baik massal maupun individu. Bukan karena banyak warganya yang terpuruk kondisi ekonominya atau untuk hidup di negara tersebut haruslah menanggung tekanan hidup yang dahsyat—tidak. Memang ada alasan klise seperti itu tetapi jumlahnya kalah. Namun bukan itu. Ada alasan lain—remang namun menjadi biang wabah bunuh diri ini.

Akan tetapi, sesungguhnyalah bunuh diri di negeri R, bukan lagi sekedar perkara depresi. Bunuh diri bukan semata urusan pembebasan dari kungkungan ekonomi ….

…. Melainkan sudah berubah menjadi suatu fenomena lunatik kolektif masa kini, yang daya tularnya ternyata lebih kilat dari dugaan.” —Aksara Amananunna, halaman 4

Saya sungguh terkesan. Bunuh diri dijadikan gaya hidup. Bunuh diri dijadikan tren. Bunuh diri seperti virus dengan tingkat virulensi yang amat ganas dan mematikan akal sehat mereka yang terinfeksi. Sudah tidak ada lagi ketakutan untuk mati.

Setelah membaca cerpen Aksara Amananunna, saya tidak akan heran bila menemukan cerpen Rio Johan yang bergenre serupa. Undang-undang Antibunuhdiri mengangkat genre serupa tampaknya. Sebuah alegori.

Cerpen ini memiliki makna paralel; bunuh diri diumpamakan sebagai fenomena berbahaya yang menjangkit masyarakat. Narkoba, contohnya. Kemudian muncul undang-undang yang melarang atau membatasi peredarannya namun sia-sia. Tidak sepenuhnya sia-sia, saya sadar. Tentu BNN atau aparat negara sudah melakukan tindakan terbaik mereka untuk memberantas hal tersebut. Namun, akui saja, narkoba masih merajalela dan menjadi pamor di masyarakat.

Yang melakukan bunuh diri—pada cerpen ini—dengan menabrakkan diri di kereta dengan menghindari sensor dianggap keren dan heroik. Remaja yang merokok atau memakai narkoba dianggap keren dan gaul pada lingkup pergaulan mereka.

Mungkin, ini cara Rio Johan untuk menyinggung pemerintah yang kurang tegas dalam memberantas kriminalitas juga penyimpangan di dalam masyarakat. Undang-undang saja tidak cukup. Hitam di atas putih tidak bisa menyelesaikan akar permasalahan.

Atau saja, memang penduduknya yang agak ngeyel. Sudah dilarang, bukannya semakin sedikit yang melakukan, malah semakin ramai saja. Seperti selentingan yang pernah saya dengar; semakin dilarang, semakin penasaran.

Sekalipun narasi cerpen ini terkesan datar—kadang, seperti membaca teks berita—saya tetap bisa menikmati cerpen ini. Tidak ada pergejolakan emosi apalagi perasaan campur-aduk, bahkan pada bagian memuncaknya konflik, rasanya sedang membaca artikel mengenai sebuah perang atau wabah. Seperti membaca cerpen tapi bukan cerpen—bukan dalam artian buruk. Cerpennya … berbeda. Saya seperti menemukan narator dalam bentuk lain. Mungkin, itu memang gaya khasnya Rio Johan.

Secara keseluruhan, cerpen ini berhasil menarik saya untuk terus membaca cerpen-cerpen selanjutnya. Magnet efektif yang berhasil menarik pembaca untuk kian tenggelam ke dalam kumcernya. Pembuka yang tepat, saya rasa. Seperti judul unik yang berhasil menjadi magnet pembaca agar membaca paragraf pertamanya.

Catatan: 
kumcer ini recommended ;)

Nycto

Bisa ditemui hampir di semua sosmed dengan akun: @nycto28
email : rollinggirl2902@gmail.com

2 respons untuk ‘Magnet dan Bunuh Diri

  1. Wow, unik banget ya cerpennya. Saya pikir ini salah satu kekuatan penulis yg imajinatif dalam membangun sebuah negeri fiktif dengan fenomena nyeleneh (tren bunuh diri) namun paralelnya tetap bisa kita temukan di kehidupan sehari-hari (misalnya narkoba). Yang paling menyentil tentu tindakan ironis Presiden yg ujung-ujungnya juga ikut bunuh diri. Saya sepakat dengan ulasan ini, gaya bahasanya cenderung datar tanpa aksesoris apa-apa, tapi toh saya tetap asik-asik saja menikmati. Terima kasih Nycto, sudah memperkenalkan saya pada cerpen unik ini 🙂

    Suka

Tinggalkan komentar